Postingan

Asal Jangan Lupa Jalan Pulang

          Berandai senja menjadi pendar yang egois, yang tak mengekalkan sang bulan memerintah malam kembali menjarakkan langkah kaki aku dan kamu. Rasanya cepat sekali senja tenggelam dibalik dinginnya ancala, kurasa haruslah raga ini segera berkemas lalu mengajarinya cara berenang. Setidaknya, ketika aku dan kamu sedang membagi kisah, atau sekedar menatap, atau sekedar diam memaknai cinta, atau barangkali menyusun strategi melawan rindu, yang habis hanyalah kesedihan pada masing-masing kita, bukan waktu lantas jadi merindu.             Perihal rindu, Sang Maha Cinta sepertinya memaketkan untukku sepasang dengan cemburu, mungkin esok akan menikah dengan khawatir, mungkin esok akan melahirkan curiga. Bintangpun sepertinya dengar ketika kamu dengan suara pelan berucap kau gamang bilamana aku jatuh pada peluk yang lain, terlebih lagi jika salah salah malah membuatku sengsara, kendati itu sahabatku. Sungguh, aku ingin meneriaki indra pendengarmu, atau barangkali menyurati hatimu agar

Suatu Hari Ketika Aku Rindu

         Aku baru tahu bahwa rindu bisa saja menjadi tamu yang sopan dan  manis, namun barusan dia mengobrak-abrik pertahananku. Dia marah,menyekap senyumku walau ini hari Minggu. Dia terus saja mencekik mataku, sehingga memuntahkan banyak sekali kata yang hanya ditelan kembali, yang secara tidak langsung berarti aku telah mencekoki hatiku untuk mencerna kembali paragraf-paragraf rayuan rindu yang didalamnya ada nama kamu. Sakit sekali rasanya, apalagi tempat yang semesta bilang adalah rumah sedang terasa asing bagiku. Jadi, harus kemana aku bercerita? Mataku mual-mual dan bibirku hanya terpejam, ya sesekali memang ia mengisak.          Sejak semesta angkuh memerlihatkan perhiasan emas mahalnya sehingga tak ada yang mampu menatapnya lebih lama, sampai akhirnya semesta telanjang takluk oleh purnama, aku hanya diam saja dikamar. Tak ada selera apapun, hanya menjadi gadis yang terlalu banyak tidur dengan asumsi bisa kutemui kamu walau tanpa skenario, di kembang tidurku. Terlebih aku yan

Aku Mencintaimu, Dan Tidak Sengaja.

Aku bernafas dengan secarik puisi ditiap pagi, dan selalu kuhembuskan desah tawa yang selalu ingin kau dengar.  Aku perempuan yang mekar disetiap musim lara, dan selalu berpaling dari matahari kemudian hanya dapat tersedu pada rembulan. Aku perempuan yang ingin dengan sengaja jatuh dipundakmu, dan meninggalkan wewangian agar kau tak lupa untuk merindu aku. Kala itu, aku perempuan yang penuh resah, yang dengan sayap patahnya tertatih untuk menemukan keping terakhir bahagiaku. Perempuan yang bundar matanya selalu sayup, yang simpul senyumnyapun terdapat bekas luka. Pada cangkir kopi yang  terlukis bekas gincuku malam itu, menjelma dirimu yang manis dan menelan pelan-pelan semua laraku. Kita berjalan-jalan sebentar, mengitari pikuknya kota yang katanya penuh kenangan. Dengarkah kau?  Melodi yang tercipta dari langkah kaki kita yang seirama, juga simpul senyummu yang mengiringi cerita kita pada hari itu. Dengarkah kau? Degup jantungku yang tak karuan serta bibirku yang mera

Rindu Sendiri, Maukah Kau Menggenapkannya?

Hanya saja kita tidak saling tahu, kau terus berlayar tanpa pernah tahu kapan berlabuh, tanpa pernah tahu mesranya angin di pelabuhan yang menidurkan semua kerasmu. Aku sang nona, dengan topi pantainya yang candu panorama samudera, tanpa pernah sampai pada pasir-pasir yang mencumbu tiap jari-jemari kaki, pada pohon-pohon yang katanya selalu bercerita betapa setiap senja, laut selalu menenggelamkan matahari , kekasihnya.  Malam terlalu muram, bintang terlalu banyak menyimpan rindu-rindu yang dititipkan punjangga pada sang nona, dan sang nona hanya tersedu karena langit tak pernah membasahi tanah hatinya yang gersang. Halo, pak nahkoda! Lautan asmara mulai mengepung sudut pandangku, gelombang rindu menghantam tiap-tiap sudut kapal tuamu, dan haruskah aku pandangi punggungmu melulu? Apakah aku karang dilautan yang selalu kau cari,lalu kau lewati begitu saja? Kapankah aku menjadi pelabuhan yang selalu kau nanti? Terombang-ambing bersamamu adalah pelangi hidupku, yang indahnyapun aku

[Diary Terbuka] Kau, Guguran Sesalku.

Aku membujur kaku meresapi dinginnya rindu, dan sedang berusaha menghidupkan rindu dengan sisa nafasku. Duduklah pada kursi sesalku, nikmati guguran cinta yang sempat kau tanam dipohon tua itu. Iya,pohon yang sudah menyerah mempertahankan sepenggal kisah romantis kita. Apa kau mulai kedinginan, tuan? Teguk saja hangat air wajahku agar senyumku tenggelam dalam hatimu. Lihatlah kini kisah kita begitu kering, hanya disiram rindu yang tak pernah aku bilang padamu, hanya disiriam rindu yang mati, dan hanya aku letakan pada lembar lembar buku cokelatku. Dim, jadilah daun pertama yang tumbuh pada pohon itu,agar semua sepi sirna. Hiduplah dihatiku, meski akhirnya menjelma sebagai teman. Dim, jadilah hujan yang selalu membasahi tiap-tiap sakitku, meski semenit kemudian menjelma menjadi petir yang jahat. Hiduplah dalam mimpiku, meski kau akan jadi kembang tidur yang menguncupkan hidupku. Tenang, aku hanya rindu dan juga sedikit sendu. Bukan berarti candu akan dirimu. Semoga ini rinduku ya

Pujangga, Kutitipkan Syairku Yang Mati

Kau tak perlu tahu seberapa besar dendamku kepada rindu yang selalu membuatku pilu. Masalahnya bukan jarak yang mengarak kasihmu semakin jauh, tapi kabarmu tak pernah mengetuk penantian yang sudah mulai rapuh. Setiap malam rembulan mencambuk kantukku, lalu kutulis kembali syair yang telah remuk bersama penantian yang terus berlagu, meski ragu, meski gagu untuk kubacakan pelan ditelingamu. Kau hanya perlu merasakan betapa kerasnya jiwaku mencintaimu dengan hati yang telah patah, dan harapan yang terus merekah. Jangan kau tanya rindu itu apa, sebab bibirku hanya akan menggigil merasakan dinginnya menyebut namamu yang tak pernah merindukanku, merasakan takutnya salah mendefinisikan rindu. Pada jalan setapak yang dulu pernah menyamakan langkah kaki kita, sekarang hanya ada imaji yang tergambar samar dalam mataku yang mulai berlinang. Pada jalan setapak yang dulu pernah ikut bahagia pada renyahnya tawa kita, kini hanya ada desiran kematian. Kemana langkah kakimu yang dulu sengaja kau

Jangan Terlambat. [UNTUK PERGI]

        Adalah hal-hal yang-hal yang masih rahasia saat tanda tanya meluncur pelan dari bibirmu, "adakah rasa itu, untukku?" Jangan bertanya lagi, kumohon. Biarkan aku menelusuri tiap-tiap takutmu, memotret tawamu yang hanya kau lakukan sesekali, dan membalas senyummu dengan malu-malu. Hidupmu adalah alur yang harus aku lakoni, jalan yang harus aku lalui, serta jurang yang harus kuukur dalamnya, walau ternyata tak berujung.      Adalah hal-hal yang masih tak kau mengerti, mengapa aku tak kunjung keluar dari sisi gelapmu. Kau tahu? Karena aku sudah terlanjur masuk disaat kau menutup pintu karena baru sadar ada penyusup.      Biar saja semua terjadi dengan alakadar, meski tak kutakjawab bagaimana rasaku, sebab perasaan bukan untuk dijelaskan tapi untuk dibuktikan. Cukuplah aku mengurungmu dalam syair pemeluk bulan, agar aku selalu memilikimu. Kubiarkan sayapmu mengepak didunia, sebab dengan kutulis namamu disini kurasa engkau akan abadi.       Purnama hari itu terlih