Pujangga, Kutitipkan Syairku Yang Mati

Kau tak perlu tahu seberapa besar dendamku kepada rindu yang selalu membuatku pilu. Masalahnya bukan jarak yang mengarak kasihmu semakin jauh, tapi kabarmu tak pernah mengetuk penantian yang sudah mulai rapuh.
Setiap malam rembulan mencambuk kantukku, lalu kutulis kembali syair yang telah remuk bersama penantian yang terus berlagu, meski ragu, meski gagu untuk kubacakan pelan ditelingamu.
Kau hanya perlu merasakan betapa kerasnya jiwaku mencintaimu dengan hati yang telah patah, dan harapan yang terus merekah.
Jangan kau tanya rindu itu apa, sebab bibirku hanya akan menggigil merasakan dinginnya menyebut namamu yang tak pernah merindukanku, merasakan takutnya salah mendefinisikan rindu.
Pada jalan setapak yang dulu pernah menyamakan langkah kaki kita, sekarang hanya ada imaji yang tergambar samar dalam mataku yang mulai berlinang.
Pada jalan setapak yang dulu pernah ikut bahagia pada renyahnya tawa kita, kini hanya ada desiran kematian.
Kemana langkah kakimu yang dulu sengaja kau pendekkan agar menyamai langkahku yang pendek?
Bukankah kita menuju pulang?
Bukankah kita menuju pulang?

Pujangga, aku adalah wanita yang tak akan pernah berhenti bersyair. Meski sedemikian keras kau membuang semuanya dari akalku, namun syairku akan semakin indah walau aku harus mati didalamnya. Meski sedemikian keras kau bakar diperapian rumahmu, percayalah, abunya akan bersemayam dalam paru-paru hitammu.

Pujangga, aku adalah wanita yang tak akan pernah berhenti bersyair. Meski kau bodoh dalam menafsirkan syair yang kusyiarkan. Meski kau tak pernah belajar, bagaimana sakitnya rindu yang terus mengejar. Meski kau tak pernah sadar, bahwa karenamu syair patah hati ini terus berkibar.

Jangan anggap aku lemah, pujangga. Sebab sejatinya aku sangat kuat menulis kejamnya dirimu menjadi sebuah tulisan yang aduhai, mengelokkan bengisnya hatimu yang sudah membangkar, dan tetap merindukan dirimu yang sulit kupahami.

Biar aku kelaparan, karena kehabisan rindu.
Biar aku tetap bersenandung, meski tak kau dengar.
Biar aku tetap bersyair, meski katanya syairku telah mati.
Sebab dengan bersyair, aku sudah berhasil membunuhmu seribu kali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu, Adalah Tentang Kebenaran.

Rindu Sendiri, Maukah Kau Menggenapkannya?

Aku Mencintaimu, Dan Tidak Sengaja.